Nettizens Voices, Parit Tiga, Bangka Barat – Pesan demi pesan telah dikirim wartawan ke nomor WhatsApp Kepala Desa Sekar Biru, Bonar, sejak pagi hari. Namun hingga matahari condong ke barat, tak satu pun jawaban diberikan. Klarifikasi yang diminta terkait dugaan pungutan liar (pungli) dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pun menguap tanpa respon. Camat Parittiga, Adhian, yang turut dimintai konfirmasi, juga memilih bungkam.
Kasus dugaan pungli ini menyeruak setelah sejumlah warga mengaku dimintai uang hingga Rp700 ribu saat menerima sertifikat PTSL. Anehnya, penyerahan dokumen penting itu tidak dilakukan di kantor desa, melainkan di rumah pribadi sang kepala desa, pada malam hari.
“Saya diminta datang malam. Setelah melihat sertifikat, kepala desa langsung minta uang Rp700 ribu. Saya tidak tahu harus bagaimana, terpaksa saya kasih,” cerita salah satu warga kepada wartawan Asatu Online, dengan suara pelan namun bergetar. Ia menolak disebutkan namanya, takut akan ada tekanan.
Warga lain pun mengungkap hal serupa. “Kalau dia menyangkal, aparat tinggal kumpulkan semua penerima sertifikat tahun ini. Tanyakan saja satu-satu. Jangan takut bicara,” ujarnya.
Dugaan pungli dalam program PTSL bukan hal baru. Namun kali ini, perhatian media tertuju pada sikap para pejabat di Parittiga yang justru memilih diam. Tak hanya Kepala Desa Bonar, Camat Parittiga, Adhian, pun ikut bungkam saat dimintai keterangan.
Sikap inilah yang kemudian menuai kecaman dari Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Suherman Saleh. Menurutnya, keengganan memberikan klarifikasi kepada wartawan adalah bentuk ketidakhormatan terhadap profesi jurnalis yang dilindungi undang-undang.
“Wartawan bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan wartawan bekerja berpedoman kepada Kode Etik Jurnalistik dari Dewan Pers. Konfirmasi itu bagian dari kewajiban kami untuk menghadirkan berita berimbang,” tegas Suherman, Senin (7/4/2025).
Ia mengingatkan, jangan sampai kemudian Kades Bonar atau pejabat lainnya menuduh wartawan menaikkan berita tanpa konfirmasi. “Nyatanya, kami sudah menghubungi sejak pagi. Tapi mereka memilih diam. Diam bisa saja dianggap pengakuan, dan itu yang berbahaya,” ujarnya.
Program PTSL sendiri merupakan salah satu upaya pemerintah pusat untuk memberikan kepastian hukum atas tanah masyarakat. Biaya resminya pun telah ditentukan lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri: maksimal Rp200 ribu untuk wilayah Sumatera, termasuk Bangka Belitung.
Namun realitas di lapangan sering kali berbeda. “Kalau warga sampai harus bayar Rp700 ribu, lalu diserahkan di rumah pribadi kepala desa, patut dipertanyakan. Ini bukan lagi pelayanan publik, tapi transaksi yang penuh kecurigaan,” kata Suherman.
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid sebelumnya juga telah memberikan peringatan keras soal praktik pungli dalam PTSL. Menurutnya, meski uang pungli dikembalikan, proses hukum tetap harus berjalan. “PTSL bukan ladang pungli. Siapa yang menetapkan biaya di luar ketentuan, kami tindak,” ujarnya.
Lebih lanjut, Suherman menilai pengabaian konfirmasi wartawan bisa menjadi bentuk penghalang kerja pers secara halus. “Ketika akses informasi ditutup, publik jadi buta. Ini berbahaya untuk demokrasi,” ujarnya lagi. (Yani / Red )
0 Komentar